Ulur-Ulur Telaga Buret: Warisan Budaya Tak Benda dari Tulungagung

Tradisi Ulur-Ulur Telaga Buret merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tulungagung, khususnya warga empat desa di Kecamatan Campurdarat, yaitu Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa Ngentrong, dan Desa Gamping. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada hari Jumat Legi atau Jumat Pon di bulan Selo (penanggalan Jawa) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan air dari Telaga Buret yang menjadi sumber kehidupan, terutama dalam menunjang irigasi lahan pertanian dan kebutuhan air sehari-hari.
Prosesi diawali dengan kirab sesaji dan ubarampe dari pintu masuk telaga, yang kemudian dilanjutkan dengan jamasan (pemandian) dan menghias dua arca simbolik, yakni Joko Sedono dan Dewi Sri, yang oleh masyarakat setempat dipercayai sebagai Dewa Padi melambangkan sandang dan pangan. Prosesi jamasan (pemandian) ini dilakukan oleh dua wanita sesepuh desa yang telah mendapatkan mandat dari kasepuhan. Ritual ini diiringi lantunan tembang Jawa dan diakhiri dengan tabur bunga di sekitar telaga oleh para sesepuh dan dayang.
Tradisi ini telah berlangsung sejak turun-temurun dan sempat hampir punah sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh almarhum Mbah Mangil bersama para tokoh desa, melalui pembentukan paguyuban “Sendang Tirtomulyo” pada tahun 1995. Upacara Ulur-Ulur tidak hanya mengandung nilai spiritual dan budaya, tetapi juga menjadi simbol komitmen masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air Telaga Buret, yang kini juga dijadikan objek wisata dan tempat penelitian. Pada tahun 2020, Ulur-Ulur Telaga Buret resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh pemerintah, memperkuat urgensi pelestariannya sebagai bagian dari identitas budaya Tulungagung.